Taylor Swift Untuk Walls Street Journal: Cinta dalam Musik Masa Depan

Posted by Blog Fathur Muttahar on Sunday 20 July 2014



Bagaimana nasib industri musik dalam 20 tahun, 30 tahun, 50 tahun?

Sebelum saya menjabarkan opini, Anda harus tahu bahwa saya seorang yang optimistis dan antusias soal industri musik. Saya satu dari sedikit pelaku musik industri yang masih meyakini bahwa industri ini tidak sedang sekarat…melainkan tengah bangkit.

Ada banyak (banyak sekali) orang yang memprediksi kejatuhan penjualan musik dan menganggap album tak lagi relevan sebagai entitas ekonomi. Saya bukan bagian dari mereka. Menurut saya, nilai sebuah album—kini dan nanti—tetap didasarkan pada jumlah kerja keras yang dicurahkan seorang musisi ke karyanya serta nilai finansial yang mereka (dan label) tentukan bagi musiknya saat dijual ke pasar. Pembajakan, pembagian file, dan streaming telah menyusutkan jumlah penjualan album. Setiap musisi mengatasi pukulan tersebut dengan berbeda.

Dalam beberapa tahun terakhir, Anda mungkin membaca berita soal artis rekaman besar yang memutuskan membagikan musik dengan gratis, baik untuk promosi atau bonus eksklusif. Harapan saya untuk masa depan—tidak hanya bagi industri musik, juga bagi semua anak perempuan—adalah mereka tahu nilai karya mereka dan berani memintanya.

Musik adalah seni, dan seni itu penting dan jarang ditemukan. Sesuatu yang penting dan jarang tentu berharga. Barang berharga harus dibayar. Menurut saya musik tak seharusnya gratis, dan prediksi saya musisi dan label mereka akan suatu hari nanti menentukan kisaran harga sebuah album. Saya harap mereka tidak merendahkan diri atau kurang menghargai seni yang telah dihasilkan.

Menancap Langsung ke Hati
Soal penjualan album, saya ingin menegaskan bahwa orang masih membeli album, meski kini lebih sedikit. Mereka hanya membeli album yang menancap langsung ke hati atau membuat mereka merasa kuat. Atau membuat mereka merasa tak sendiri dalam merasakan kesendirian. Menghasilkan album dengan penjualan multiplatinum saat ini lebih sulit ketimbang 20 tahun lalu. Sebagai musisi, hal itu seharusnya menjadi tantangan dan memotivasi kita.

Akan selalu ada musisi yang menggebrak pada level emosional dan masuk ke hidup seseorang selamanya. Dari sudut pandang saya, penggemar memandang musik seperti mereka memandang hubungan antar-manusia. Beberapa jenis musik hanya untuk bersenang-senang, seperti hubungan sementara (musik untuk menari di klub dan pesta saat musik itu tengah kencang diputar di radio. Tak lama kemudian, mereka akan lupa pernah menari bersama lagu itu.) Beberapa lagu dan album mewakili momen-momen dalam hidup kita, seperti hubungan yang akan selalu kita kenang tetapi terpaksa berakhir di masa lalu.

Meski demikian, beberapa musisi akan dipandang penggemarnya sebagai “cinta sejati.” Kita akan selalu menyambut setiap album yang mereka rilis sampai mereka pensiun. Kita akan memainkan musik mereka untuk anak-anak dan cucu kita. Ini adalah impian setiap musisi dalam berinteraksi dengan penggemarnya. Menurut saya, jenis hubungan ini masih mungkin terjadi di masa depan, seperti kegilaan ayah saya terhadap Beach Boys dan ibu saya dengan Carly Simon.

Di masa depan, membentuk hubungan dengan penggemar akan mensyaratkan elemen kejutan setiap saat. Bukan “kaget” tapi “terkejut”. Saya percaya pasangan akan tetap saling cinta selama puluhan tahun jika mereka tetap saling mengejutkan. Jadi mengapa kisah cinta ini tak dapat terbentuk antara musisi dengan penggemarnya?

Saat ini adalah generasi YouTube. Ketika pentas setiap malam dalam tur stadion saya tahun lalu, saya tahu setiap penggemar sudah pernah melihat konser saya di Internet. Saya membawa puluhan penampil tamu spesial untuk menyanyikan lagu hit mereka bersama saya, demi menyajikan sesuatu yang baru bagi penggemar. Generasi saya dibesarkan dalam budaya mengganti saluran TV dengan remote jika bosan. Jika tidak sabar, kita dapat langsung membaca halaman terakhir sebuah buku. Kita ingin terkejut, senang, menganga karena takjub. Saya harap musisi generasi berikutnya akan terus berinovasi untuk mengesankan penontonnya, meski sangat berat.

Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa hal yang telah kadaluwarsa, seperti koleksi tanda tangan. Saya tak pernah dimintai tanda tangan sejak iPhone muncul dengan kamera depannya. Kenang-kenangan yang diinginkan “anak zaman sekarang” adalah selfie. Ini seperti mata uang baru, yang tampaknya sekarang ditentukan oleh jumlah pengikut di Instagram.

Kekuatan Penggemar
 Teman saya, seorang aktris, pernah bercerita: Saat casting untuk film barunya menyisakan dua aktris, sutradara casting memilih aktris dengan pengikut Twitter lebih banyak. Saya melihat ini menjadi tren di industri musik. Bagi saya, ini bermula pada 2005 saat ketika saya pertama mengikuti rapat label rekaman. Kepada mereka, saya berkata saya langsung berkomunikasi dengan penggemar saya di situs baru bernama Myspace. Di masa depan, musisi akan mendapat kontrak rekaman karena mereka punya penggemar—bukan sebaliknya.
Taylor Swift di Los Angeles, 1 Desember 2012.

Pola lainnya yang memudar adalah perbedaan genre. Belakangan ini, lagu yang populer di radio tak hanya dipengaruhi oleh satu genre tertentu. Salah satu faktor yang tak dapat diprediksi—namun menyenangkan—dalam pembuatan musik saat ini adalah musisi dapat memilih genre apa saja. Pop terdengar seperti hip hop, country seperti rock, rock seperti soul, dan folk seperti country—dan menurut saya, itu adalah kemajuan yang mengesankan. Saya ingin membuat musik yang merefleksikan semua yang mempengaruhi saya. Di masa depan, genre bukanlah sesuatu yang menentukan karier dan lebih berfungsi sebagai alat organisasional.

Momen seperti ini dalam musik sangat menyenangkan karena ruang kreasi bagi musisi tidak terbatas. Sekarang, Anda akan mendapat imbalan jika keluar dari zona nyaman. Evolusi pesat tidak hanya diterima…tetapi disambut baik. Risiko satu-satunya adalah terlalu takut untuk ambil risiko.

Lampu Sorot Selebriti
Saya memprediksi beberapa hal tak akan berubah. Obsesi atas kehidupan pribadi musisi, terutama musisi muda, akan tetap ada, bahkan meningkat. Musisi yang puncak kejayaannya pada ’70-an, ’80-an, dan ’90-an berkata pada saya, ”Bagi saya dulu obsesinya tak pernah segila ini!” Saya menduga saya akan mengatakan hal yang sama bagi musisi yang lebih muda suatu saat nanti. Akan selalu ada debat anak badung vs anak baik-baik, sopan vs seksi. Selama label semacam itu masih ada, saya berharap akan ada kompetitor pada kedua sisi. Setiap orang butuh seseorang yang bisa dijadikan panutan.
Kalau saya sendiri? Saya akan duduk santai dan bertambah tua, menyaksikan semua ini terjadi (atau tidak), seraya mempertahankan hidup dengan optimisme yang sama.
Dan saya juga ingin memiliki kebun yang cantik.

Taylor Swift adalah penyanyi, penulis lagu, dan peraih tujuh penghargaan Grammy.

Blog, Updated at: 10:43

0 comments:

Post a Comment

Search This Blog